Selasa, 30 September 2014

Hening



HENING..




Malam semakin larut, namun aku masih belum dapat memejamkan mata. Kupandang dari balik kaca jendela, derai air hujan semakin lebat. Suara guntur  terdengar lirih digendang  telingaku. Aneh bukan, untuk kebanyakan orang, suara guntur terdengar gemuruh. Tapi tidak bagiku, guntur itu layaknya desir angin yang hanya lewat sesaat. Tapi aku sudah biasa akan hal itu, karena memang aku divonis Dokter bahwa aku tuna rungu sejak lahir. Sehingga secara otomatis aku juga tidak mampu berbicara dengan jelas layaknya anak normal.
Aku biola, sering dipanggil Lala. Mungkin nama yang tidak pantas untukku, karena aku sama sekali tidak bisa memainkan biola. Bahkan mendengar alunan melodi bioala yang indah katanya, aku tidak bisa. Sekarang ku berumur 16 tahun dan adikku berumur 12 tahun yang bernama melody. Berbeda denganku, sesuai dengan namanya dia memiliki kelebihan dalam bidang tarik suara. Tidak heran jika setiap hari minggu dia tidak pernah absen ikut paduan suara di Gereja. Keluarga besarku adalah musisi, dari keluarga nenek sampai ibu. Mungkin sebuah pukulan besar bagi nenek atas kelahiranku yang tuna rungu, diantara keluarga musisi. Sehingga aku memaklumi jika nenek tidak suka padaku. Mengingat hal tersebut, dadaku terasa sesak, bendungan air mata tak mampu lagi kutahan lalu perlahan kupejamkan mata.

**
            Disudut kamar yang gelap, tanpa bisa kudengar derit pintu yang tiba-tiba terbuka. Cahaya lampu yang kemudian masuk bersama bayangan yang berjalan dari luar. Ternyata itu adalah nenek, yang kemudian berdiri di ambang pintu sambil menatapku nanar. Tidak bisa aku mendengar apa yang dia katakan, sepertinya menggertak. Entahlah, nyatanya aku tuna rungu. Namun perlahan aku mampu membaca ekspresi marahnya padaku. Aku hanya tertegun menatap raut wajahnya. Seketika dia membanting pintu dan keluar. Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi. Aku menghela nafas lalu meringkuk dan menutup wajahku dengan bantal.

***
            Kala senja mulai berayun dilangit, aku segera beranjak dari dudukku dan meletakkan kuas-kuas yang ternodai oleh warna-warna dari cat minyak.  Sebuah lukisan elok yang telah aku selesaikan melalui goresan-gorean kuas, yang pada akhirnya terlihat sempurna. Terlukis wajah yang seolah-olah menenggelamkan amarah dalam senyuman yang sengaja aku buat berdasarkan imajinasi. Merupakan sebuah hadiah yang akan kuberikan untuk nenek bukan untuk pertama kalinya. Segala puji bagi Tuhan, semoga kali ini nenek tak lagi membuang dengan cemooh pemberianku.
            Menjelang penantian akan hari istimewa bagi nenek. Semua orang rumah mempersiapkan untuk memberi kejutan untuk nenek, berhubung nenek lagi dirumah paman. Ketika semuanya telah selesai dan tinggal menunggu waktunya tiba, ibu mengajakku kekamar nenek. Untuk pertama kalinya, diusiaku yang ke-16 tahun aku menginjakkan kaki di ruang tempat tidur nenekku sendiri. Jantungku berdegup kencang, perasaan takut mulai memburuku. Tidak terbayangkan olehku jika nenek mengetahui hal ini. Gandengan tangan ibu yang seolah berusaha menenangkanku. Yang kemudian menuntunku untuk membuka sebuah album foto yang sudah terlihat kusam. Kucermati setiap lembaran yang berisi penuh memori itu. Pada lembaran terakhir, aku melihat senyuman yang terlihat nyata yang tersungging dibibir perempuan tua yang kurasa itu nenek. Pada  foto nenek tersebut, dia menggendong bayi yang masih terlihat polos dan suci. Dan dipojok kanan bawah foto tertera tulisan “Biola”. Dengan menggunakan bahasa isyarat, ibu mengatakan bahwa bayi itu adalah aku. Dan ibu juga mengatakan bahwa dulu yang memberiku nama “Biola” adalah nenek. Berharap nama itu dapat memberi alunan indah dalam hari-hariku dan keluargaku. Mengetahui hal tersebut seketika aku tertunduk lesu. Derai air mata menyapu wajahku. Sebuah pernyataan dan kenyataan yang berbanding terbalik terasa membebani kepalaku. Bahwa aku tak mampu mewujudkan harapan nenek padaku. Mungkin hal tersebut yang membuat nenek tak pernah berbuat baik padaku. Kemudian tangan lembut ibu mengahapus airmataku. Dia mengatakan sesuatu padaku dan aku berusaha memahaminya lewat mimik bibirnya. Dia berkata “sebenarnya nenek tidak pernah membencimu, mungkin dia hanya merasa kecewa”. Aku termenung.
Tiba-tiba melody masuk sambil menangis, seketika memecah lamunanku. Dia berlari memeluk ibu, entah aku tak mengerti apa yang terjadi padanya. Terlebih  lagi ketika ibu ikut menangis. Kemudian menarik tanganku dan membawaku keluar rumah. Didepan pintu aku tercengang, aku tak mampu menahan tangis, dan akupun tersimpuh lemas dilantai. Mobil yang bertuliskan “ambulance” berhenti didepan gerbang, belum tau siapa yang meninggal, aku sudah merasakan sakit yang amat dalam menyayat hatiku. Kemudian turun dua orang perawat menggotong peti, dan membawanya kedalam rumah.  Dengan berat hati dan segala keikhlasan aku berusaha membuka peti dan melihat jasat yang ada didalamnya. Terlihat tubuh nenek terbujur kaku, matanya terpejam damai. Segala do’aku tertumpah untuknya.
            Dihari ulang tahun nenek yang seharusnya dia rayakan bersama keluarga, ternyata dia diharuskan pulang ke rahmat Tuhan. Bahkan hari dimana aku ingin melihat senyum tulus nenek padaku yang kunanti sejak dulu. Rangkaian bunga didepan mata seakan menjadi saksi bisu akan kehancuran segala harapku. Belum sempat aku memberikan lukisan yang telah kubuat untuk nenek. Belum sempat aku memperlihatkan permainan biolaku yang selama ini kupelajari secara diam-diam dalam hening. Bahkan, belum sempat aku mewujudkan harapan nenek padaku. Amarah yang biasa menghempas itu kini meninggalkan seonggok nurani yang terbelah ditemani oleh keheningan.
****
            Aku membuka mata. Semua sudah berubah, ujarku dalam hati. Setahun berlalu sejak kematian nenek yang disebabkan oleh serangan jantung dihari ulang tahunnya. Aku  sudah bisa mendengar dengan bantuan alat pendengar. Aku tak pernah bosan melukis wajah nenek dengan senyuman yang kurasa tulus. Dan kini aku sudah mampu memainkan biolaku dan mendengarkan alunannya yang ternyata memang indah disetiap gesekan. Dengan itu, kurasa aku sudah dapat memberi alunan indah dalam hari-hariku dan keluargaku.
            Kuusap air mata ku, kutatap langit yang berbintang, hujan telah reda sejak aku tak menyadarinya. Aku tersenyum, dan berbaring tidur. Sembari memejamkan mata aku bergumam, “nenek aku ingin kau tau bahwa cucumu yang tuna rungu ini, mungkin kini sudah bisa mewujudkan harapanmu. Berjanjilah untuk selalu tersenyum disana”. Aku terlelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar