HENING..
Malam semakin larut, namun aku masih belum dapat memejamkan mata.
Kupandang dari balik kaca jendela, derai air hujan semakin lebat. Suara
guntur terdengar lirih digendang telingaku. Aneh bukan, untuk kebanyakan
orang, suara guntur terdengar gemuruh. Tapi tidak bagiku, guntur itu layaknya
desir angin yang hanya lewat sesaat. Tapi aku sudah biasa akan hal itu, karena
memang aku divonis Dokter bahwa aku tuna rungu sejak lahir. Sehingga secara
otomatis aku juga tidak mampu berbicara dengan jelas layaknya anak normal.
Aku biola, sering dipanggil Lala. Mungkin nama yang tidak pantas untukku,
karena aku sama sekali tidak bisa memainkan biola. Bahkan mendengar alunan
melodi bioala yang indah katanya, aku tidak bisa. Sekarang ku berumur 16 tahun
dan adikku berumur 12 tahun yang bernama melody. Berbeda denganku, sesuai
dengan namanya dia memiliki kelebihan dalam bidang tarik suara. Tidak heran
jika setiap hari minggu dia tidak pernah absen ikut paduan suara di Gereja. Keluarga
besarku adalah musisi, dari keluarga nenek sampai ibu. Mungkin sebuah pukulan
besar bagi nenek atas kelahiranku yang tuna rungu, diantara keluarga musisi. Sehingga
aku memaklumi jika nenek tidak suka padaku. Mengingat hal tersebut, dadaku
terasa sesak, bendungan air mata tak mampu lagi kutahan lalu perlahan
kupejamkan mata.
**
Disudut kamar yang gelap, tanpa bisa
kudengar derit pintu yang tiba-tiba terbuka. Cahaya lampu yang kemudian masuk
bersama bayangan yang berjalan dari luar. Ternyata itu adalah nenek, yang
kemudian berdiri di ambang pintu sambil menatapku nanar. Tidak bisa aku
mendengar apa yang dia katakan, sepertinya menggertak. Entahlah, nyatanya aku
tuna rungu. Namun perlahan aku mampu membaca ekspresi marahnya padaku. Aku
hanya tertegun menatap raut wajahnya. Seketika dia membanting pintu dan keluar.
Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi. Aku menghela nafas lalu
meringkuk dan menutup wajahku dengan bantal.
***
Kala senja mulai berayun dilangit,
aku segera beranjak dari dudukku dan meletakkan kuas-kuas yang ternodai oleh warna-warna
dari cat minyak. Sebuah lukisan elok
yang telah aku selesaikan melalui goresan-gorean kuas, yang pada akhirnya
terlihat sempurna. Terlukis wajah yang seolah-olah menenggelamkan amarah dalam
senyuman yang sengaja aku buat berdasarkan imajinasi. Merupakan sebuah hadiah
yang akan kuberikan untuk nenek bukan untuk pertama kalinya. Segala puji bagi
Tuhan, semoga kali ini nenek tak lagi membuang dengan cemooh pemberianku.
Menjelang penantian akan hari
istimewa bagi nenek. Semua orang rumah mempersiapkan untuk memberi kejutan
untuk nenek, berhubung nenek lagi dirumah paman. Ketika semuanya telah selesai
dan tinggal menunggu waktunya tiba, ibu mengajakku kekamar nenek. Untuk pertama
kalinya, diusiaku yang ke-16 tahun aku menginjakkan kaki di ruang tempat tidur
nenekku sendiri. Jantungku berdegup kencang, perasaan takut mulai memburuku.
Tidak terbayangkan olehku jika nenek mengetahui hal ini. Gandengan tangan ibu
yang seolah berusaha menenangkanku. Yang kemudian menuntunku untuk membuka
sebuah album foto yang sudah terlihat kusam. Kucermati setiap lembaran yang
berisi penuh memori itu. Pada lembaran terakhir, aku melihat senyuman yang
terlihat nyata yang tersungging dibibir perempuan tua yang kurasa itu nenek. Pada
foto nenek tersebut, dia menggendong bayi
yang masih terlihat polos dan suci. Dan dipojok kanan bawah foto tertera
tulisan “Biola”. Dengan menggunakan bahasa
isyarat, ibu mengatakan bahwa bayi itu adalah aku. Dan ibu juga mengatakan bahwa
dulu yang memberiku nama “Biola” adalah nenek. Berharap nama itu dapat memberi
alunan indah dalam hari-hariku dan keluargaku. Mengetahui hal tersebut seketika
aku tertunduk lesu. Derai air mata menyapu wajahku. Sebuah pernyataan dan
kenyataan yang berbanding terbalik terasa membebani kepalaku. Bahwa aku tak mampu
mewujudkan harapan nenek padaku. Mungkin hal tersebut yang membuat nenek tak
pernah berbuat baik padaku. Kemudian tangan lembut ibu mengahapus airmataku.
Dia mengatakan sesuatu padaku dan aku berusaha memahaminya lewat mimik
bibirnya. Dia berkata “sebenarnya nenek tidak pernah membencimu, mungkin dia
hanya merasa kecewa”. Aku termenung.
Tiba-tiba melody masuk sambil menangis, seketika memecah lamunanku. Dia
berlari memeluk ibu, entah aku tak mengerti apa yang terjadi padanya. Terlebih lagi ketika ibu ikut menangis. Kemudian
menarik tanganku dan membawaku keluar rumah. Didepan pintu aku tercengang, aku
tak mampu menahan tangis, dan akupun tersimpuh lemas dilantai. Mobil yang
bertuliskan “ambulance” berhenti didepan gerbang, belum tau siapa yang
meninggal, aku sudah merasakan sakit yang amat dalam menyayat hatiku. Kemudian
turun dua orang perawat menggotong peti, dan membawanya kedalam rumah. Dengan berat hati dan segala keikhlasan aku
berusaha membuka peti dan melihat jasat yang ada didalamnya. Terlihat tubuh nenek
terbujur kaku, matanya terpejam damai. Segala do’aku tertumpah untuknya.
Dihari ulang tahun nenek yang
seharusnya dia rayakan bersama keluarga, ternyata dia diharuskan pulang ke
rahmat Tuhan. Bahkan hari dimana aku ingin melihat senyum tulus nenek padaku
yang kunanti sejak dulu. Rangkaian bunga didepan mata seakan menjadi saksi bisu
akan kehancuran segala harapku. Belum sempat aku memberikan lukisan yang telah
kubuat untuk nenek. Belum sempat aku memperlihatkan permainan biolaku yang
selama ini kupelajari secara diam-diam dalam hening. Bahkan, belum sempat aku
mewujudkan harapan nenek padaku. Amarah yang biasa menghempas itu kini
meninggalkan seonggok nurani yang terbelah ditemani oleh keheningan.
****
Aku membuka mata. Semua sudah
berubah, ujarku dalam hati. Setahun berlalu sejak kematian nenek yang
disebabkan oleh serangan jantung dihari ulang tahunnya. Aku sudah bisa mendengar dengan bantuan alat
pendengar. Aku tak pernah bosan melukis wajah nenek dengan senyuman yang kurasa
tulus. Dan kini aku sudah mampu memainkan biolaku dan mendengarkan alunannya
yang ternyata memang indah disetiap gesekan. Dengan itu, kurasa aku sudah dapat memberi
alunan indah dalam hari-hariku dan keluargaku.
Kuusap air mata ku, kutatap langit
yang berbintang, hujan telah reda sejak aku tak menyadarinya. Aku tersenyum,
dan berbaring tidur. Sembari memejamkan mata aku bergumam, “nenek aku ingin kau
tau bahwa cucumu yang tuna rungu ini, mungkin kini sudah bisa mewujudkan harapanmu.
Berjanjilah untuk selalu tersenyum disana”. Aku terlelap.